Ricky putro romo

Ricky putro romo
Bersama Romo Herucokro Sastrohadijojo

Rabu, 25 April 2012

Apa itu budaya


Kata "kebudayaan" berasal dari kata Sanskerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal"… kebudayaan menurut hemat saya antara lain berarti: keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu, maka istilah "kebudayaan" memang suatu istilah yang amat cocok. Adapun istilah Inggerisnya berasal dari kata Latin colere, yang berarti "mengolah, mengerjakan", terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture, sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merobah alam.[3]
Budaya, menurut Koentjaraningrat, berasal kata dari buddhi, sementara buddhi dimaknai sebagai akal. Jadi, budaya adalah keseluruhan dari hasil akal dan karyanya, yang dihasilkannya lewat proses belajar. Budaya dikaitkan erat-erat dengan pendidikan di sini: transfer sesuatu kepada generasi baru lewat proses belajar. Namun, lagi-lagi, Koentjaraningrat menghubungkan makna budaya ini dengan culture, sehingga akal manusia selalu dikait-kaitkan dengan penggunaannya untuk mengolah Alam, mengubah Alam, mengeksploitasi Alam.
Yang serupa dengan Koentjaraningrat ialah definisi budaya yang dianut oleh R. Soekmono. Dalam buku darasnya Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 1 (1973), Soekmono mendefinisikan budaya demikian:
Segala ciptaan manusia ini, yang sesungguhnya hanyalah hasil usahanya untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan baru kepada pemberian Tuhan sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rokhaninya, itulah yang dinamakan kebudayaan. Maka pada hakekatnya kebudayaan itu mempunyai dua segi, bagian yang tak dapat dilepaskan hubungannya satu sama lain, yaitu:
a. Segi kebendaan, yang meliputi segala benda buatan manusia sebagai perwujudan dari akalnya. Hasil-hasil ini dapat diraba.
b. Segi kerokhanian, terdiri atas alam pikiran dan kumpulan perasaan yang tersusun teratur. Keduanya tak dapat diraba, hanya penjelmaannya saja dapat dipahami dari keagamaan, kesenian, kemasyarakatan dsb.[4]
Menurut Soekmono, budaya adalah segala ciptaan manusia, yang merupakan hasil usahanya untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan baru kepada segala yang ada di dunia ini sesuai kebutuhan jasmani dan rohani manusia itu sendiri. Memang, Soekmono tidak menyebut-nyebut kata culture, tapi secara implisit ia telah menyamakan makna budaya dengan culture pula. Dengan menegaskan bahwa budaya meliputi produk material dan produk spiritual manusia, Soekmono berarti menegaskan bahwa hatta agama pun adalah bagian dari 'olahan' manusia, budaya manusia. Sungguh mencerminkan Humanisme yang angkuh!
Cukuplah dikutip di sini definisi budaya dari ketiga pemikir tadi, sebab ternyata dalam tulisan-tulisan generasi setelah mereka pun definisi budaya tidak mengalami pergeseran arti yang signifikan. Budaya selalu dipahami sebagai produk akal manusia dari pengolahannya terhadap Alam, dan berkaitan dengan itu, Budi selalu dipahami sebagai semata-mata akal, terutama oleh Koentjaraningrat dan R. Soekmono. Sedangkan Takdir, walaupun memaknai Budi sebagai kombinasi jiwa dan ruh (Jerman, Geist), tapi pemaknaannya bahwa Budaya serupa dengan Culture, justru mereduksi Budi hanya pada penggunaannya dalam mengubah dan mengeksploitasi Alam.
Untuk mengembalikan makna sakral budaya dari lingkaran setan makna profannya ini, kita harus merujukkannya lebih dulu pada makna sakral budi, karena makna sakral budilah yang mendasari makna sakral budaya. Makna sakral dari budi dapat ditemukan dalam tradisi sastra spiritual asli kita, yang disebut Zoetmulder dengan sebutan 'Sastra Suluk'. Dalam Serat Centhini, kita menemukan definisi budi yang sangat sakral:
Wujud tanpa kahanan puniki
Ing dalem kak sajati lantaran
Inggih budi lantarané
Sarupa wujud ing hu
Pan jumeneng Muhammad latip
Mustakik ing Hyang Suksma
Kenyatanipun
Budi wujud ing Hyang Suksma
Inggih budi inggih Hyang kang Mahasuci
Budi tatabonira.[5]
(Wujud tanpa keberadaan itu
di tengah-tengah kenyataan sejati
memiliki perantara ialah budi
yang serupa dengan wujud Dia
adapun budi itu Muhammad yang rohani
perwujudan Hyang Suksma
serta manifestasiNya
Budi itu wujudnya Hyang Suksma
Budi itu ialah Yang Mahasuci
Budi ialah tempat kedamaiannya.)
Budi, dalam Serat Centhini, dimaknai sebagai manifestasi Wujud Ilahi yang memperantarai WujudNya yang non-existent dengan Wujudnya yang existent. Budi adalah ‘Yang Ilahi’-sebagai-Ide, dan sebagai Budi, maka ‘Yang Ilahi’ berwujud sebagai Ide-Ide, Pengetahuan-Pengetahuan, tapi sekaligus juga ‘Yang Mengetahui’. Yang Ilahi sebagai Yang Maha Tahu masih belum memisahkan diriNya dari Pengetahuannya. Orang yang amat menyadari bahwa Budi adalah manifestasi Ilahi disebut orang Jawa ‘ahli ing budi binudi kang budiman’, ‘orang budiman’. Budi dalam pengertian sakral ini adalah serupa dengan pengertian the Intellect (Arab, Al-'Aql) dalam tradisi Neoplatonist Islam, pengertian Logos dalam tradisi Neoplatonist Kristen, pengertian the Idea dalam tradisi Platonisme, serta pengertian Haqiqat Muhammadiyyah atau Nur Muhammadiyy dalam tradisi Sufisme.
Budi sebagai the Intellect, sebagai Haqiqat Muhammadiyyah, dan sebagai Bayangan Allah (Serat Centhini menyebutnya 'Muhammad yang Ruhani'), juga dipahami oleh Ki Ageng Selo dalam Serat Pepalinya.
Cipta iku Muhammad,
Tinut ing tumuwuh.
Wali, mukmin datan kocap.
Jroning cipta Gusti Allah ingkang mosik
Unine: Rasulullah.
Lamun meneng Muhammad puniki,
Ingkang makmum apan jenengira.
Dene to genti arane,
Yen imam Allah iku,
Ingkang makmum Muhammad jati.
Iku rahsaning cipta,
Sampurnaning kawruh
Imam mukmin pan wus nunggal,
Allah samar Allah tetep kang sejati,
Wus campuh nunggal rasa.[6]
(Akal itu Muhammad,
Pemimpin hidupmu.
Wali, mukmin tak disebut,
Dalam akal Tuhan Allah yang bergerak,
Katanya: Rasulullah.
Dalam ketenangan Muhammad itu,
Yang makmum ialah kamu sendiri.
Sebaliknya pada yang disebut,
Allah sebagai Imam
Yang makmum ialah Muhammad Sejati.
Itulah intisari akal,
Kesempurnaan ilmu.
Imam mukmin sudah bersatu,
Allah bayangan dan Allah tetap yang sejati,
Sudah campur bersatu rasa.)
Jika Budi telah dipahami dengan makna aslinya yang sakral, maka implikasinya terhadap makna Budaya sangat signifikan. Budaya, dalam makna sakralnya yang terkait dengan makna sakral Budi, berarti segala ciptaan manusia yang memanifestasikan Yang Ilahi. Budaya berarti peradaban spiritual-sakral yang memanifestasikan Sang Sakral di bumi, yang mengimanenkan Sang Transenden. Dengan makna sakral ini, nampaklah perbedaan antara makna budaya yang profan dan yang sakral. Bahwa budaya kini dimaknai dengan makna profan, mendorong kita yang sudah dari sononya berperadaban spiritual untuk 'memungut kembali' makna spiritualnya, sehingga makna budaya tidak direduksi dan dimanipulasi Modernisme dengan semata-mata makna profannya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar